Selasa, 23 April 2013

Hukum Nikah

Hukum Menikah

Hukum menikah dibagi menjadi dua ; pertama : hukum asal dari pernikahan, kedua : hukum menikah dilihat dari kondisi pelakunya.

I.                    Hukum Asal Dari Pernikahan

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa hukum asal pernikahan adalah wajib. Ini adalah pendapat sebagian ulama,[16] berkata Syekh al-Utsaimin :
“Banyak dari ulama mengatakan bahwa seseorang yang mampu (secara fisik dan ekonomi) untuk menikah, maka wajib baginya untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban, dan di dalam pernikahan tersebut terdapat maslahat yang agung.“ [17]  
Dalil-dalil pendapat ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Hadist Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ  
 Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda pada kami: “Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mempunyai kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat) .” [18]
Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam dalam hadist di atas memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya “falyatazawaj” (segeralah dia menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan  bahwa : “al ashlu fi al amr  lil wujub “ (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti kewajiban).
Kedua : bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah subhanahu wa ta’ala   , sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala    :
ô وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ
 “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)” [19]  
Ketiga : hadist Anas bin Malik radhiyallahu ta’ala :  
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepada isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, “Saya tidak akan menikah.” Kemudian sebagian lagi berkata, “Aku tidak akan makan daging.” Dan sebagian lain lagi berkata, “Aku tidak akan tidur di atas kasurku.” Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: “Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku.” [20]  
Keempat : karena tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara, sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Berkata Syekh al Utsaimin : 
“ …dan karena dengan meninggalkan nikah padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. “[21]   
Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
 Pendapat Kedua :  bahwa hukum asal dari pernikahan adalah sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama. Berkata Imam Nawawi : “Ini adalah madzhab kita (Syafi’iyah) dan madzhab seluruh ulama, bahwa perintah menikah di sini adalah anjuran, bukan kewajiban… dan tidak diketahui seseorang mewajibkan nikah kecuali Daud dan orang-orang yang setuju dengannya dari pengikut Ahlu Dhahir (Dhahiriyah), dan riwayat dari Imam Ahmad. “[22]
Dalil-dalil mereka adalah :
Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala     :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
 “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” [23]
Berkata Imam al-Maziri : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama (bahwa menikah hukumnya sunnah), karena Allah subhanahu wa ta’ala    memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa. “[24]    
Perintah yang terdapat dalam hadist Abdullah bin Mas’ud di atas bukan menunjukkan kewajiban, tetapi menunjukan “al-istihbab “(sesuatu yang dianjurkan).
Kedua : Bahwa menikah maslahatnya kembali kepada orang yang melakukannya terutama yang berhubungan dengan pelampiasan syahwat, sehingga dikatakan bahwa perintah di atas sebagai bentuk pengarahan saja.
II. Hukum Menikah Menurut Kondisi Pelakunya
Adapun hukum nikah jika dilihat dari kondisi orang yang melakukannya adalah sebagai berikut :
Pertama : Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang mempunyai hasrat yang tinggi untuk menikah karena syahwatnya bergejolak sedangkan dia mempunyai kemampuan ekonomi yang cukup. Dia merasa terganggu dengan gejolak syahwatnya, sehingga dikawatirkan akan terjerumus di dalam perzinaan.
Begitu juga seorang mahasiswa  atau pelajar, jika dia merasa tidak bisa konsentrasi di dalam belajar, karena memikirkan pernikahan, atau seandainya dia terlihat sedang belajar atau membaca buku, tapi ternyata dia hanya pura-pura, pada hakekatnya dia sedang melamun tentang menikah dan selalu memandang foto-foto perempuan yang diselipkan di dalam bukunya, maka orang seperti ini wajib baginya untuk menikah jika memang dia mampu untuk itu secara materi dan fisik, serta bisa bertanggung jawab, atau menurut perkiraannya pernikahannya akan menambah semangat dan konsentrasi dalam belajar.
Kedua : Nikah hukumnya sunah  bagi orang yang mempunyai syahwat, dan mempunyai harta, tetapi tidak khawatir terjerumus dalam maksiat dan perzinaan. Imam Nawawi di dalam Syareh Shahih Muslim menyebutkan judul dalam Kitab Nikah sebagai berikut : “Bab Dianjurkannya Menikah Bagi Orang Yang Kepingin Sedangkan Dia Mempunyai Harta “.[25]  
 Ketiga : Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai syahwat, tetapi tidak mempunyai harta. Atau bagi orang yang mempunyai harta tetapi tidak mempunyai syahwat. [26]
 Keempat : Nikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak punya harta dan tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat). Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan perempuan untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Tentu akan lebih baik, kalau dia mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhannya terlebih dahulu. Selain itu, istrinya akan sedikit tidak terurus, dan kemungkinan tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. 
Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh.
Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : Dia tidak dimakruhkan menikah tetapi lebih baik baginya untuk konsentrasi dalam ibadah. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas ulama Syafi’iyah.[27]
Pendapat Kedua : Menikah baginya lebih baik. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan sebagian dari ulama Syafi’iyah serta sebagian dari ulama Malikiyah. Kenapa? karena barangkali istrinya bisa membantunya dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya, seperti memasak, menyediakan makanan dan minuman, menyuci dan menyetrika bajunya, menemaninya ngobrol, berdiskusi dan lain-lainnya. Menikah sendiri tidak mesti melulu melakukan hubungan seks saja, tetapi ada hal-hal lain yang didapat sepasang suami selama menikah, seperti kebersamaan, kerjasama, keakraban, menjalin hubungan keluarga, ketenangan dan ketentraman.   
Kelima : Nikah hukumnya haram, bagi yang merasa dirinya tidak mampu bertanggung jawab dan akan menelantarkan istri dan anak. [28]
Syekh al-Utsaimin memasukan pernikahan yang haram adalah  pernikahan yang dilakukan di Darul Harbi ( Negara Yang Memusuhi Umat Islam ), karena dikhawatirkan musuh akan mengalahkan umat Islam dan anak-anaknya akan dijadikan budak. Tetapi jika dilakukan dalam keadaan darurat, maka dibolehkan.[29]
Demikian penjelasan singkat tentang pengertian nikah dan hukumnya yang disarikan dari pernyataan para ulama, mudah-mudahan bermanfaat. Wallahu A’lam  

 





[1] Penulis sudah mencari dalam kamus : Lisan al-Arab, karya Ibnu Mandhur, Mukhtar ash- Shihah karya Muhammad ar- Razi, dan al-Misbah al-Munir karya al-Fayumi, ternyata tidak mendapatkan arti nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung, tapi penulis mendapatkan pengertian ini di Kifayah al-Akhyar, karya Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, hlm : 462.  
[2] Perkataan al-Fara’ diatas disebutkan oleh Imam Nawawi di dalam  Syarh Shahih Muslim  juz : 9, hlm : 171
[3]  Sofiyurrahman al-Mubarakfuri, Ittihaf al Kiram, hlm. 288, Abu Bakar al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hlm.349
[4] Qs. an-Nisa’ : 3
[5] Qs. an-Nisa : 22
[6] Qs. al- Baqarah : 230
[7] Ibnu Qudamah di dalam kitab al-Mughni, juz : 7, hlm : 333, ( Dar al-Kitab al-Arabi ) mengatakan : “ Disebutkan bahwa lafadh nikah di dalam al-Qur’an tidak ada yang artinya melakukan hubungan seksual, kecuali firman Allah subhanahu wa ta’ala  : “ hatta tanhika zaujan ghairahu ( 2 : 230 ) “.
[8] Ibnu al-Arabi di dalam buku  Ahkam al-Qur’an, juz : 1, hlm : 267 menyebutkan bahwa Sa’id bin al-Musayib berpendapat  bahwa seorang perempuan yang telah dicerai suaminya tiga kali, maka dia menjadi halal lagi bagi suaminya yang pertama, jika sudah melakukan akad nikah dengan suami yang kedua, tanpa harus melakukan hubungan seksual dengannya berdasarkan dhahir dari ayat di atas ( Qs 2 : 230 ), kemudian Ibnu Arabi membantah pendapat tersebut. Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa istri yang sudah dicerai 3 kali, harus melakukan hubungan seksual dengan suami yang kedua sebelum kembali kepada suami yang pertama ( Muhammad Syamsul al-Haq al –Adhim Abadi, Aun al-Ma’bud, juz : 6, hlm : 301 )   
[9] HR Bukhari dan Muslim. Lafadh di atas  dari riwayat Abu Daud.
[10] HR. Muslim
[11] Hadist Shahih Riwayat Ibnu Majah
[12] Penjelasan di atas disebutkan oleh al- Farisi dan dinukil oleh Abu Bakar bin Muhammad al Husaini di dalam Kifayah al-Akhyar, hlm : 460. Dan disebutkan juga oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.  
[13] Abu Bakar bin Muhammad al Husaini, Kifayah al-Akhyar, hlm : 460
[14] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 79.  
[15]  Pendapat Zamakhsari ini dinukil oleh Syekh Kamil Muhammad Uwaidhah di dalam komentarnya pada buku Kifayah al Akhyar, hlm : 460. Beliau juga memilih pendapat ini dengan alasan bahwa Zamakhsari adalah ahli bahasa yang lebih unggul dibanding dengan yang lainnya.  Lihat juga di Ibnu al-Mandhur, Lisan al-Arab, juz : 2, hlm : 626
[16] Asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz : 6, hlm : 117
[17] Al-Utsaimin, Syarh Buluguhl al-Maram, juz : 3, hlm : 179
[18] HR. Bukhari dan Muslim
[19] Qs. ar- Ra’du : 38
[20] HR. Bukhari dan Muslim
[21] Al-Utsaimin, Syarh al-Mumti’, juz : 5, hlm : 80.
[22] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 173
[23] Qs. an-Nisa’ : 3
[24] Imam Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174.
[25] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 172
[26] Contoh ini disebutkan oleh Syekh al-Utsaimin di dalam Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm : 180. Penulis sendiri masih belum bisa memahami secara utuh contoh yang disebutkan oleh beliau. Tetapi yang jelas contoh tersebut  berbeda dengan apa yang disebutkan oleh imam an-Nawawi  di dalam Syarh Shohih Muslim yang mengatakan bahwa  seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta yang cukup, maka baginya, menikah adalah makruh. Adapun seseorang yang mempunyai harta tetapi tidak ada keinginan untuk menikah (lemah syahwat), para ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. (  An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174 )
[27] An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, juz  : 9, hlm : 174
[28] Yusuf ad-Duraiwisy,  Nikah Siri, Mut’ah dan Kontrak , Jakarta, Dar al-Haq, Cet-1, 2010. 
[29]Al-Utsaimin, Syarh Bulughul Maram, juz : 4, hlm :179

0 komentar:

Posting Komentar