1. Syarat dan Rukun Wakaf
a. Syarat Wakaf
Syarat-syarat harta yang diwakafkan sebagai berikut:
1) Diwakafkan untuk selama-lamanya, tidak terbatas waktu tertentu (disebut takbid).
2) Tunai
tanpa menggantungkan pada suatu peristiwa di masa yang akan datang.
Misalnya, “Saya wakafkan bila dapat keuntungan yang lebih besar dari
usaha yang akan datang”. Hal ini disebut tanjiz
3) Jelas mauquf alaih nya (orang yang diberi wakaf) dan bisa dimiliki barang yang diwakafkan (mauquf) itu
b. Rukun Wakaf
1) Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya;
a. kehendak sendiri
b. berhak berbuat baik walaupun non Islam
2) sesuatu (harta) yang diwakafkan (mauquf), syartanya;
a. barang yang dimilki dapat dipindahkan dan tetap zaknya, berfaedah saat diberikan maupun dikemudian hari
b. milki sendiri walaupun hanya sebagian yang diwakafkan atau musya (bercampur dan tidak dapat dipindahkan dengan bagian yang lain
3) Tempat berwakaf (yang berhaka menerima hasil wakaf itu), yakni orang yang memilki sesuatu, anak dalam kandungan tidak syah.
4) Akad,
misalnya: “Saya wakafkan ini kepada masjid, sekolah orang yang tidak
mampu dan sebagainya” tidak perlu qabul (jawab) kecuali yang bersifat
pribadi (bukan bersifat umum)
2. Harta yang Diwakafkan
Wakaf
meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak bisa dikatakan sebagai
sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah harta yang tidak
habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak boleh pula
dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena itu,
harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan
bermanfaat untuk orang banyak, misalnya:
a. sebidang tanah
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
Dalam
Islam, pemberian semacam ini termasuk sedekah jariyah atau amal
jariyah, yaitu sedekah yang pahalanya akan terus menerus mengalir kepada
orang yang bersedekah. Bahkan setelah meninggal sekalipun, selama harta
yang diwakafkan itu tetap bermanfaat. Hadits nabi SAW:
اِذَا
مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila
anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
(macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang
dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Berkembangnya
agama Islam seperti yang kita lihatsekarang ini diantaranya adalah
karena hasil wakaf dari kaum muslimin. Bangunan-bangunan masjid, mushala
(surau), madrasah, pondok pesantren, panti asuhan dan sebaginya hampir
semuanya berdiri diatas tanah wakaf. Bahkan banyak pula lembaga-lembaga
pendidikan Islam, majelis taklim, madrasah, dan pondok-pondok pesantren
yang kegiatan operasionalnya dibiayai dari hasil tanah wakaf.
Karena
itulah, maka Islam sangat menganjurkan bagi orang-orang yang kaya agar
mau mewariskan sebagian harta atau tanahnya guna kepentingan Islam. Hal
ini dilakukan atas persetujuan bersama serta atas pertimbangan
kemaslahatan umat dan dana yang lebih bermanfaat bagi perkembangan umat.
3. Pelaksanaan Wakaf di Indonesia
a. Landasan
1. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
2. Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik
3. Peraturan
Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
4. Peraturan
Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978 tentang
Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik
b. Tata Cara Perwakafan Tanah Milik
1. Calon
wakif dari pihak yang hendak mewakafkan tanah miliknya harus datang
dihadapan Pejabat Pembantu Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan
ikrar wakaf.
2. Untuk
mewakafkan tanah miliknya, calon wakif harus mengikrarkan secara lisan,
jelas dan tegas kepada nadir yang telah disyahkan dihadapan PPAIW yang
mewilayahi tanah wakaf. Pengikraran tersebut harus dihadiri saksi-saksi
dan menuangkannya dalam bentuk tertulis atau surat
3. Calon
wakif yang tidak dapat datang di hadapan PPAIW membuat ikrar wakaf
secara tertulis dengan persetujuan Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten atau Kotamadya yang mewilayahi tanah wakaf. Ikrar ini
dibacakan kepada nadir dihadapan PPAIW yang mewilayahi tanah wakaf serta
diketahui saksi
4. Tanah
yang diwakafkan baik sebagian atau seluruhnya harus merupakan tanah
milik. Tanah yang diwakafkan harus bebas dari bahan ikatan, jaminan,
sitaan atau sengketa
5. Saksi
ikrar wakaf sekurang-kurangnya dua orang yang telah dewasa, dan sehat
akalnya. Segera setelah ikrar wakaf, PPAIW membuat Ata Ikrar Wakaf Tanah
c. Surat yang Harus Dibawa dan Diserahkan oleh Wakif kepada PPAIW sebelum Pelaksananaan Ikrar Wakaf
Calon wakif harus membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW surat-surat berikut.
1. sertifikat hak milik atau sertifikat sementara pemilikan tanah (model E)
2. Surat
Keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu perkara
dan dapat diwakafkan
3. Izin dari Bupati atau Walikota c.q. Kepala Subdit Agraria Setempat
d. Hak dan Kewajiban Nadir
Nadir adalah kelompok atau bandan hukum Indonesia yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf
1. Hak Nadir
- Nadir berhak menerima penghasilan dari hasil tanah wakaf yang biasanya ditentukan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya. Dengan ketentuan tidak melebihi dari 10 % ari hasil bersih tanah wakaf
- Nadir dalam menunaikan tugasnya dapat menggunakan fasilitas yang jenis dan jumlahnya ditetapkan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten atau Kotamadya.
2. Kewajiban Nadir
Kewajiban nadir adalah mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, antara lain:
- menyimpan dengan baik lembar kedua salinan Akta Ikrar Wakaf
- memelihara dan memanfaatkan tanah wakaf serta berusaha meningkatkan hasilnya
- menggunakan hasil wakaf sesuai dengan ikrar wakafnya.
4. Mengganti Barang Wakaf
Prinsip-prinsip
wakaf diatas adalah pemilikan terhadap manfaat suatu barang. Barang
asalnya tetap, tidak boleh diberikan, dijual atau dibagikan. Barang yang
diwakafkan tidak boleh diganti atau dijual. Persoalannya akan jadi lain
jika barang wakaf itu sudah tidak dapat dimanfaatkan, kecuali dengan
memperhitungkan harga atau nilai jual setelah barang tersebut dijual.
Artinya, hasil jualnya dibelikan gantinya. Dalam keadaan demikian ,
mengganti barang wakaf dibolehkan. Sebab dengan cara demikian, barang
yang sudah rusak tadi tetap dapat dimanfaatkan dan tujuan wakaf semula
tetap dapat diteruskan, yaitu memanfaatkan barang yang diwakafkan tadi.
Sayyidina
Umar r.a. pernah memindahkan masjid wakah di Kuffah ke tempat lain
menjadi masjid yang baru dan lokasi bekas masjid yang lama dijadikan
pasar. Masjid yang baru tetap dapat dimanfaatkan. Juga Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa tujuan pokok wakaf adalah kemaslahatan. Maka mengganti
barang wakaf tanpa menghilangkan tujuannya tetap dapat dibenarkan
menurut inti dan tujuan hukumnya.
5. Pengaturan Wakaf
Tujuan
wakaf dapat tercapai dengan baik, apabila faktor-faktor pendukungnya
ada dan berjalan. Misalnya nadir atau pemelihara barang wakaf. Wakaf
yang diserahkan kepada badan hukum biasanya tidak mengalami kesulitan.
Karena mekanisme kerja, susunan personalia, dan program kerja telah
disiapkan secara matang oleh yayasan penanggung jawabnya.
Pengaturan
wakaf ini sudah barang tentu berbeda-beda antara masing-masing orang
yang mewakafkannya meskipun tujuan utamanya sama, yaitu demi
kemaslahatan umum. Penyerahan wakaf secara tertulis diatas materai atau
denagn akta notaris adalah cara yang terbaik pengaturan wakaf. Dengan
cara demikian, kemungkinan penyimpangan dan penyelewengan dari tujuan
wakaf semula mudah dikontrol dan diselesaikan. Apalagi jika wakaf itu
diterima dan dikelola oleh yayasan-yayasan yang telah bonafide dan
profesional, kemungkinan penyelewengan akan lebih kecil.
0 komentar:
Posting Komentar