Pengertian dan Hukum Wakaf
Ditinjau
dari segi bahasa wakaf berarti menahan. Sedangkan menurut istilah
syarak, ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, untuk diambil
manfaatnya untuk kebaikan dan kemajuan Islam. Menahan suatu benda yang
kekal zatnya, artinya tidak dijual dan tidak diberikan serta tidak pula
diwariskan, tetapi hanya disedekahkan untuk diambil manfaatnya saja.
Ada beberapa pengertian tentang wakaf antara lain:
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali adalah
seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub
kepada Allah ta’alaa
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah menahan
harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang
yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut
dan memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada
manusia secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan,
ataupun diwariskan
Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan
harta-benda atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari
hasilnya atau menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang
yang dicintainya. Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta
tersebut ada dalam pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia
masih hidup, dan bisa diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah
meninggal baik untuk dijual ayau dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan
definisi yang dikeluarkan oleh Abu Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu
Hanifah itu sendiri
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan
sesuatu hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari
atas kepemilikan pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
Pengertian
wakaf menurut peraturan pemerintah no. 28 tahun 1977 adalah perbuatan
hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta
kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Dari
definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk
salah satu diantara macam pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil
manfaatnya, dan bendanya harus tetap utuh. Oleh karena itu, harta yang
layak untuk diwakafkan adalah harta yang tidak habis dipakai dan umumnya
tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah, bangunan dan sejenisnya.
Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk masjid, mushala, pondok
pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
Hukum
wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka
berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar
pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima
mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu
masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam
hadits:
اِذَا
مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila
anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga
(macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang
dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
Harta
yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan
tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang
mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah
SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah
tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar
menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya,
tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
0 komentar:
Posting Komentar