Akhir-akhir ini arah kiblat mulai
menjadi pembicaraan hangat kaum muslimin di Indonesia. Pasalnya fatwa
MUI No 3 tahun 2010 yang menyatakan bahwa arah kiblat umat Islam
Indonesia ke arah barat mulai direvisi kembali pada fatwa MUI No 5 yang
merubah redaksi menjadi arah barat laut.
Apa sebenarnya makna kiblat itu ?
Bagaimana sejarahnya ? Apakah kewajiban menghadap kiblat itu berlaku
bagi seluruh sholat atau hanya sholat tertentu saja ? Dan kiblat umat
Islam Indonesia sebenarnya menghadap ke arah mana ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut Insya Allah akan terjawab dalam makalah
berikut ini :
Makna Kiblat
Kiblat berasal dari bahasa Arab yaitu
al- Qiblat yang berarti arah dimana manusia menghadap. Al Qiblat berasal
dari al al Muqabalah dan al Istiqbal. Dinamakan al Qiblat karena
seorang yang melakukan sholat menghadap ke arahnya. ( Abu Hafsh Sirojuddin Umar, Tafsir al Lubab fi Ulumi al Kitab)
Hukum Menghadap Kiblat
Menghadap Kiblat merupakan syarat sah sholat bagi yang mampu menurut kesepakatan para ulama. (Ibnu
Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111, Khotib
Syarbini, Mughni Muhtaj Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 331) . Mereka berdalil dengan firman Allah swt :
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Berkata Ibnu al Arabi: “ Asy Syathr
secara etimologi berarti setengah dari sesuatu, tapi kadang juga
diartikan “arah atau maksud “ . Dan ayat ini ditujukan kepada seluruh
kaum muslimin, baik yang bisa melihat Ka’bah maupun yang tidak bisa
melihatnya “ ( Ahkam al Qur’an, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 64, Qurtubi : 2/107-108 )
Begitu juga dengan hadist nabi Muhammad saw :
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mendirikan shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, dan bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim )
Kedua perintah di dalam ayat dan hadist
di atas mempunyai arti wajib, karena tidak ada dalil yang memalingkan
dari artinya yang asli.
Cara Menghadap Kiblat
Untuk mengetahui bagaimana cara
menghadap kiblat, maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa orang yang
sholat mempunyai dua keadaan :
Keadaan Pertama : Orang
yang sholat tersebut berada di depan Ka’bah atau mampu melihat Ka’bah
secara langsung. Dalam keadaan seperti ini, maka dia harus menghadap
langsung ke bangunan Ka’bah. Jika dia tidak menghadap kepada bangunan
Ka’bah dan melenceng walaupun sedikit, maka sholatnya tidak sah.
Ibnu Qudamah berkata : “Kemudian jika
seseorang langsung melihat ka’bah, maka wajib baginya ketika sholat
untuk menghadap langsung ke bangunan Ka’bah, kami tidak mengetahui
adanya perselisihan antara para ulama dalam masalah ini. Berkata Ibnu
‘Aqil : “Jika sebagian arahnya melenceng dari bangunan Ka’bah, maka
shalatnya tidak sah’.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Beirut, Dar al Kitab al Araby, 1/ 456 ) Bisa dirujuk pula Tafsir al- Qurtubi : 2/108
Keadaan Kedua : adalah orang yang tidak berada di depan Ka’bah dan tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung
Dalam keadaan kedua ini, para ulama
berbeda pendapat tentang caranya, apakah harus mengenai bangunan ka’bah
atau cukup menghadap ke arahnya saja ?
Pendapat Pertama :
bahwa orang yang tidak bisa melihat Ka’bah secara langsung, ia tetap
harus menghadap ke bangunan Ka’bah, serta tidak boleh melenceng
sekitpun. Ini adalah pendapat sebagian ulama .
Mereka berdalil dengan firman Allah swt :
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke Ka’bah.” (QS. Al Baqarah: 144)
Begitu juga dengan hadist Ibnu Abbas ra :
عن ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْبَيْتَ دَعَا فِي
نَوَاحِيهِ كُلِّهَا وَلَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ
رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فِي قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَقَالَ هَذِهِ الْقِبْلَةُ
Dari Ibnu Abbas ra, berkata, "Ketika
Nabi saw masuk ke dalam Ka'bah, beliau berdo'a di seluruh sisinya dan
tidak melakukan shalat hingga beliau keluar darinya. Beliau kemudian
shalat dua rakaat di depan Ka'bah, lalu bersabda: "Inilah kiblat." (HR. Bukhari dan Muslim).
Pendapat Kedua : bagi
orang yang berada jauh dari Makkah, cukup baginya menghadap ke arah
ka’bah dan itu cukup dengan persangkaan kuatnya. Ini adalah pendapat
Mayoritas Ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah.
Dalil dari pendapat kedua ini adalah sebagai berikut :
Dalil Pertama :
Firman Allah swt :
وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144).
Berkata Ibnu Al Arabi : “ Bahwasanya
Allah swt ingin memberitahukan bahwa siapa saja yang letaknya jauh dari
Ka’bah, maka hendaknya dia menghadap ke arahnya saja, bukan bangunannya,
karena sangat susah menghadap ke bangunannya, bahkan itu tidak mungkin
bisa dilaksanakan kecuali bagi yang melihatnya secara lagsung “ (Ahkam al Qur’an : 1/ 64 )
Berkata Shon’ani : “ Ayat di atas
menunjukkan bahwa cukup menghadap arah Kiblat saja, karena untuk
menghadap ke bangunan Ka’bah tidaklah bisa dilakukan oleh setiap orang
yang melakukan sholat di setiap tempat. “ ( Subulus Salam, Dar al Kutub al IImiyah : 1/ 251 )
Dalil Kedua :
Sabda Rasulullah saw :
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ
“Arah antara timur dan barat adalah qiblat.” (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shohih.)
Dewan Fatwa Dan Penilitian Ilmiyah Arab
Saudi no : 3534 ( 6/ 313 ) menyatakan tentang hadist di atas sebagai
berikut : “ Hadist ini ditujukan kepada penduduk Madinah dan sekitarnya
yang berada di utara Ka’bah atau yag berada di selatan Ka’bah. Yang
nyata dalam hadist ini bahwa antara timur dan barat adalah Kiblat.
Adapun yang berada di barat atau timur Ka’bah, maka kiblatnya adalah
antara utara dan selatan. “
Hal serupa juga disampaikan oleh Syekh
Sholeh bin Utsaimin di dalam Majmu’ Fatawanya ( 12/341 ). Bahkan oleh
ulama-ulama sebelumnya seperti Imam Ibnu Abdul Barr di dalam al Istidzkar ( 2/458) dan at Tamhid ( 17/58 ) , Asy-Syaukani di dalam Nailul Author( 3/253 ).
Dalil Ketiga :
Hadist Abu Ayyub al Anshori ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلا غَائِطٍ ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا.
“ Jika kalian mendatangi toilet maka janganlah menghadapi ke arah kiblat dan jangan pula kalian membelakanginya baik dalam keadaan buang air kecil maupun buang besar, tetapi menghadapilah ke timur atau ke barat. “ ( HR Bukhari, no : 144 dan Muslim, no : 264)
إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلا تَسْتَدْبِرُوهَا بِبَوْلٍ وَلا غَائِطٍ ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا.
“ Jika kalian mendatangi toilet maka janganlah menghadapi ke arah kiblat dan jangan pula kalian membelakanginya baik dalam keadaan buang air kecil maupun buang besar, tetapi menghadapilah ke timur atau ke barat. “ ( HR Bukhari, no : 144 dan Muslim, no : 264)
Berkata Syekh Islam Ibnu Taimiyah : “
Hadist di atas menjelaskan bahwa selain menghadap ke timur dan barat
dikatagorikan menghadap atau membelakangi kiblat. Hadist ini ditujukan
kepada penduduk Madinah dan yang berada di sekitarnya. ( Syarh al Umdah : 3/ 434 )
Artinya bahwa bagi penduduk Madinah,
sepanjang mereka menghadap arah selatan, baik menghadap selatan secara
lurus, atau melenceng ke timur sedikit atau ke barat sedikit, maka
tetap dikatagorikan menghadap Kiblat.
Dalil Keempat :
عن نافع أن عمر بن الخطاب قال (ما بين المشرق والمغرب قبلة إذا تُوُجِّه قِبَلَ البيت).
Dari Nafi’bahwasanya Umar bin Khattab berkata : “antara Timur dan Barat adalah Kiblat, jika menghadap ke arah Ka’bah “ ( HR Imam Malik di dalam al Muwatho’ )
Pernyataan yang sama juga disampaikan
oleh Ustman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abdul al Barr di dalam at Tamhid :
( 17 / 58 )
Dalil Kelima :
Bahwa jama’ah sholat di masjid – masjid
yang besar dan shofnya sangat panjang melebihi panjangnya bangunan
Ka’bah, para ulama telah sepakat bahwa sholat mereka sah, padahal secara
yakin mereka tidak menghadap ke bangunan ka’bah.
Berkata Ibnu Rajab al Hanbali : “ Para
ulama telah sepakat bahwa shof dalam sholat yang sangat panjang yang
letaknya jauh dari Ka’bah dinyatakan sah. Padahal telah diketahui bahwa
tidak mungkin semuanya menghadap ke bangunan Ka’bah “ ( Ibnu Rajab, Fath al Bari : 3/142 ) .
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Syarh al Umdah : 3: 434, Ibnu Al Arabi di dalam Ahkam al Qur’an : 1/65, al Qurtubi di dalam tafsirnya : 2 /107 ) ,
Dalil keenam :
Mewajibkan orang sholat yang tidak bisa
melihat Ka’bah dan jauh darinya untuk tetap menghadap bangunan Ka’bah
adalah mewajibkan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, dan akan
sangat menyulitkannya, padahal Islam adalah agama yang mudah. Berkata
Ibnu Rusydi : “ Seandainya diwajibkan menghadap ke bangunan Ka’bah, maka
hal itu sangat menyulitkan, padahal agama itu mudah. Allah swt
berfirman :
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“ Dan Allah tidaklah menjadikan bagi kamu dalam agama ini sesuatu yang menyulitkan “ ( Qs Al Haj : 78 ) (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Dar al Kutub al Ilmiyah : 1/ 111,)
Kesimpulan :
Dari keterangan di atas, bisa kita
simpulkan bahwa arah kiblat untuk penduduk Indonesia yang letaknya di
sebelah timur Ka’bah adalah barat. Yang paling tepat adalah menghadap ke
arah barat laut, tetapi jika melenceng sedikit sehingga menghadap barat
lurus, selama masih arah barat, maka sholatnya dikatakan sah.
Dengan demikian, umat Islam Indonesia
tidak perlu ribut dan tengkar dalam masalah ini, karena semuanya sah.
Masjid-masjid yang sudah terlanjur menghadap barat atau melenceng
sedikit tidak perlu dipugar, atau bahkan tidak perlu dimiringkan
karpetnya, khususnya jika hal itu akan menimbulkan fitnah di
masyarakat. Dan perlu diketahui juga bahwa masjid-masjid besar
dipastikan sebagian jama’ahnya tidak akan menghadap bangunan ka’bah
secara yakin, karena bangunan Ka’bah lebih kecil dari masjid – masjid
tersebut. Walaupun begitu tidak ada satupun ulama yang mengatakan sholat
mereka batal. Kenapa kita mesti ribut. Wallahu A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar