Pengertian Nikah
Nikah secara bahasa adalah berkumpul dan bergabung. Dikatakan : nakahat al-asyjar, yaitu pohon-pohon tumbuh saling berdekatan dan berkumpul dalam satu tempat.[1] Berkata
Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah bergabung, kadang digunakan
untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk menyebut hubungan
seksual.”
Al-Fara’ seorang ahli bahasa Arab mengatakan bahwa orang Arab menyebutkan kata “Nukah al Mar-atu” artinya adalah organ kewanitaan. Jika mereka mengatakan “nakaha al-mar-ata” artinya telah menggauli di organ kewanitaannya..[2]
Adapun “Nikah” secara istilah adalah : “Akad yang dilakukan antara
laki-laki dan perempuan yang dengannya dihalalkan baginya untuk
melakukan hubungan seksual” . [3]
Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Dalam al-Qur’an dan as-Sunah kata “Nikah” kadang digunakan untuk
menyebut akad nikah, tetapi kadang juga dipakai untuk menyebut suatu
hubungan seksual.
Contoh menikah yang artinya akad nikah adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
÷ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ
أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
“Maka lakukanlah akad nikah dengan
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang
saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya” [4]
Contoh lain adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah
dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh).” [5]
Adapun contoh menikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ
اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“ Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia melakukan hubungan seksual dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.” [6]
Arti nikah pada ayat di atas adalah al-wath-u atau al-jima’u (melakukan hubungan seksual), bukan akad nikah.[7] Karena seseorang tidak disebut suami, kecuali kalau sudah melakukan akad nikah.
Seorang istri yang telah diceraikan suaminya yang pertama sebanyak
tiga kali, dan sudah menikah dengan suami yang kedua, maka dia harus
melakukan “ nikah “ dengan suaminya yang kedua tersebut, kemudian
diceraikannya, sebelum kembali kepada suaminya yang pertama. Melakukan “
nikah “ dengan suami yang kedua, maksudnya adalah melakukan “ hubungan
seksual “.[8]
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha :
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ - يَعْنِى ثَلاَثًا - فَتَزَوَّجَتْ
زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ
يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِىُّ
-صلى الله عليه وسلم- لاَ تَحِلُّ لِلأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ
الآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا
“ Dari Aisyah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga
kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan
bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka
apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang
pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksua) dengan suaminya
yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan
seksual) dengannya." [9]
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah shalallahu a’alaihi wa sallam :
اِصْنَعُوْا كُلَّ شَيْءٍ إلَّا النِّكَاح
“ Lakukanlah segala sesuatu (dengan istrimu yang sedang haid) kecuali nikah, yaitu jima’”[10]
Dalam riwayat lain disebutkan :
اصْنَعُوْا كُلّ شَيْءٍ إلّا الجِمَاع
“ Lakukanlah segala sesuatu (d engan istrimu yang sedang haid) kecuali jima’”[11]
Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad
nikah dan melakukan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut di dalam suatu
pembicaraan ? Para ulama membedakan antara keduanya dengan keterangan
sebagai berikut : Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan
seorang perempuan lain, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa
laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa
seorang laki-laki menikah dengan istrinya, maka artinya bahwa
laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.[12]
Dari kedua makna nikah di atas, mana yang hakikat dan mana yang majaz ? Para ulama berbeda pendapat :
Pendapat Pertama : bahwa nikah pada hakikatnya
digunakan untuk menyebut akad nikah, dan kadang dipakai secara majaz
untuk menyebutkan hubungan seksual. Ini adalah pendapat shahih dari
madzhab Syafi’iyah, dishahihkan oleh Abu Thoyib, Mutawali dan Qadhi
Husain.[13] Ini juga merupakan pendapat yang dipilih oleh Syekh al-Utsaimin. [14]
Pendapat kedua : bahwa nikah pada hakikatnya dipakai
untuk menyebut hubungan seksual. Tetapi kadang dipakai secara majaz
untuk menyebut akad nikah. Ini adalah pendapat al-Azhari, al-Jauhari dan
az-Zamakhsari, ketiga orang tersebut adalah pakar dalam bahasa Arab .[15]
0 komentar:
Posting Komentar